Kerugian Akibat Bencana Alam di Wilayah Asia Pasifik Mencapai US$ 65 Miliar pada Tahun Lalu

Kerugian Akibat Bencana Alam di Wilayah Asia Pasifik Mencapai US$ 65 Miliar pada Tahun Lalu

Mancanegara, Ruaskabar.com - Menurut laporan terbaru yang dirilis oleh perusahaan asuransi global, kerugian ekonomi di wilayah Asia Pasifik akibat bencana alam mencapai angka yang mengkhawatirkan hingga US$ 65 miliar (sekitar Rp 1.030 triliun) pada tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh serangkaian bencana alam yang melanda wilayah tersebut.

Dari total kerugian tersebut, hanya sekitar 9% atau setara dengan US$ 6 miliar (sekitar Rp 95 triliun) yang berhasil ditanggung oleh asuransi. Angka ini jauh di bawah rata-rata abad ke-21 yang mencapai US$ 15 miliar (sekitar Rp 238 triliun), menunjukkan bahwa masih ada celah yang besar dalam perlindungan asuransi terhadap bencana alam di kawasan Asia Pasifik.

Laporan tersebut menyoroti bahwa banjir masih menjadi ancaman paling merugikan di Asia Pasifik selama empat tahun berturut-turut, menyumbang lebih dari 64% dari total kerugian pada tahun 2023. Sejak tahun 2010, kerugian akibat banjir telah melebihi angka US$ 30 miliar (sekitar Rp 476 triliun).

"China menjadi salah satu yang paling parah terdampak di wilayah Asia Pasifik dengan kerugian terkait banjir mencapai US$ 32,2 miliar (sekitar Rp 511 triliun), atau lebih dari setengah dari total kerugian di wilayah tersebut," ungkap laporan tersebut seperti yang dikutip oleh CNBC International.

Selain China, Hong Kong, Korea Selatan, India, dan Pakistan juga mengalami dampak besar dari banjir dan curah hujan tinggi sepanjang tahun. Banjir di Asia Selatan secara khusus menyebabkan hampir 2.900 kematian. Perusahaan asuransi mencatat bahwa kerugian terkait banjir telah mencapai lebih dari US$ 30 miliar setiap tahun sejak 2010.

Menanggapi tren ini, beberapa negara dan lembaga internasional telah meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak bencana alam. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dan infrastruktur terhadap bencana alam yang semakin sering dan parah.

"Perlunya langkah-langkah konkrit dalam memperkuat infrastruktur, meningkatkan kapasitas tanggap darurat, dan memperbaiki sistem peringatan dini sangat mendesak," kata seorang ahli bencana alam.

Selain itu, perlunya pendekatan yang holistik dalam mengatasi perubahan iklim dan mitigasi bencana alam telah menjadi semakin penting. Ini termasuk kebijakan yang mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca, perlindungan ekosistem alami, dan peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim.

Para ahli juga menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam menghadapi tantangan ini. Melalui pertukaran pengetahuan, teknologi, dan sumber daya, negara-negara dapat saling mendukung dalam upaya mereka untuk mengurangi risiko bencana dan melindungi kehidupan manusia serta lingkungan.

Dengan adanya peningkatan kesadaran akan konsekuensi bencana alam yang semakin merugikan secara ekonomi dan manusiawi, harapannya tindakan-tindakan ini dapat diimplementasikan dengan cepat dan efektif untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan masyarakat di seluruh dunia.

Laporan tersebut juga menggarisbawahi peningkatan suhu dan gelombang panas yang tak terduga, terutama kondisi kekeringan di China dan India.

"Walaupun gelombang panas merupakan salah satu risiko paling mematikan, sering kali risiko-risiko ini diabaikan dalam industri asuransi," tambah laporan tersebut.

Gempa bumi besar juga berkontribusi pada peningkatan kerusakan, seperti gempa di Provinsi Herat, Afghanistan, pada bulan Oktober dan Provinsi Gansu, China, pada bulan Desember, yang masing-masing merenggut hampir 1.500 nyawa dan merusak lebih dari 200.000 rumah.

"Dengan pola iklim yang mendukung munculnya rekor cuaca ekstrem baru, dunia usaha semakin harus mampu mengukur dan mengatasi dampak langsung maupun tidak langsung dari risiko iklim," kata George Attard, CEO Solusi Reasuransi Aon di wilayah Asia Pasifik.

"Meskipun perubahan iklim seringkali tidak dianggap sebagai salah satu dari sepuluh risiko terbesar bagi dunia usaha, namun kenyataannya dampaknya sudah terasa," jelasnya.

Sementara itu, secara global, kerugian ekonomi akibat bencana alam mencapai sekitar US$ 380 miliar (sekitar Rp 6.030 triliun) pada tahun 2023, meningkat sebesar 22% dari rata-rata abad ke-21. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh gempa bumi dan badai konvektif yang parah di AS dan Eropa, seperti yang ditulis oleh Aon.

Belum ada Komentar untuk " Kerugian Akibat Bencana Alam di Wilayah Asia Pasifik Mencapai US$ 65 Miliar pada Tahun Lalu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel